Novel Tiga Sandera Terakhir

Tiga Sandera Terakhir

Sebuah penyanderaan brutal terjadi di Papua. Korbannya lima turis berkewarganegaraan Indonesia, Australia dan Prancis. Semua telunjuk langsung menuding OPM, Organisasi Papua Merdeka. Namun, OPM sendiri ternyata menyangkalnya. Kata mereka, pihaknya sudah lama tidak menggunakan cara-cara seperti itu demi perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Lantas siapa dalang penyanderaan ini? TNI enggan berteka-teki terlalu lama. Satuan Antiteror Kopassus di bawah pimpinan Kolonel Larung Nusa segera diturunkan ke bumi cenderawasih. Tapi, malang tak bisa ditolak. Korban malah berjatuhan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus.

Lama-lama, Kolonel Nusa mulai menyadari bahwa lawannya bukan sekadar milisi OPM. Melainkan pasukan khusus, seperti dirinya. Atau, bisa dibilang... Kopassusnya OPM.

  • Genre: Novel thriller militer
  • Pengarang: Brahmanto Anindito
  • Editor: Hermawan Aksan & Miranda Harlan
  • Format: Buku cetak dan e-book
  • Dimensi: 14 cm x 21 cm
  • Tebal: 309 + xiv halaman
  • Berat: 280 gram
  • ISBN: 978-602-0989-47-1
  • Penerbit: Noura Books
  • Tahun terbit: 2015
  • Harga tertinggi: Rp 62.000
Pesan Sekarang



"Terinspirasi oleh penyanderaan para peneliti Lorentz selama 130 hari di Desa Mapnduma pada 1996."

Harian Koran Tempo
Surat kabar nasional dari Jakarta



"Novel ini boleh jadi yang pertama dan berani menjadikan Kopassus sebagai latarnya. Penulis menggambarkannya dengan begitu detail."

Majalah Detik
Majalah berita investigatif mingguan



"Mengupayakan kedamaian di Papua melalui cerita yang inspiratif."

Harian Malang Post
Surat kabar di Malang dan sekitarnya



"Sebagai seorang penulis, Brahmanto rupanya tidak hanya mengejar prestise, tetapi juga mengedepankan nilai sosial."

Harian Singgalang
Surat kabar di Padang dan sekitarnya



"Fiktif tapi tajam mengorek Papua dan berbagai realitas di sana. Sembari mengisahkan petualangan yang membuat jantung berdebar semakin kencang."

Harian Nasional
Surat kabar di Jakarta

Isi Novel Tiga Sandera Terakhir

Bab Pertama

Pria itu menjumput tanah dengan tangannya yang legam. Meniupnya sambil memilin-milin butiran tanah tersebut. Mulut tebalnya berkomat-kamit. Lama sekali. Seolah itu doa terakhir dalam hidupnya. Dia kemudian berdiri. Menyahut senjata laras panjang M-16 yang tersandar di samping pohon.

Dialah Akilas. Perawakannya biasa-biasa saja. Tidak kekar. Tidak besar. Suaranya pun tidak pernah bisa lantang. Kumisnya yang melintang keriting dan wajahnya yang terkesan jenaka malah memberi kesan ramah pada lelaki 47 tahun ini.

Akilas

Tapi, penampilan selalu bisa menipu. Akilas adalah seorang komandan berdarah dingin. Reputasi hitamnya telah menjadi catatan khusus bagi Pemerintah Indonesia. Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang hendak dilakukannya pagi ini.

Akilas melempar pandangan ke atas bukit. Dia lalu mengayunkan langkah ke sana. Mendaki tanjakan landai dengan tungkainya yang jenjang dan telanjang.

Di atas bukit tersebut, sebaris pasukan warna-warni telah menantinya. Lelaki-lelaki bertubuh tegap, berotot, dengan senjata-senjata yang tegak terhunus. Sebagian bercelana pendek, sebagian berkoteka. Sebagian berkaos lusuh, sebagian lagi bertelanjang dada.

Bola mata mereka tampak berpendar putih di antara kulit wajah yang hitam penuh coreng moreng itu, bergerak mengikuti mondar-mandirnya sang Komandan.

"Su siap?" tanya Akilas. Jumlah pasukan itu tidak kurang dari 50 orang. Panah, tombak, sumpit, parang, dan kapak, semua baru saja diasah. Berkilat-kilat ditimpa cahaya pagi mentari Papua. "HE, KAMORANG SU SIAP?" ulang Akilas dengan suara cemprengnya.

"SIAAAP...!" jawab serempak pasukannya.

Akilas mendengus puas. Lantas membuang pandangan sejauh beberapa belas meter.

Di sana, Mikael saudaranya, berdiri di depan barisan sebelah barat. Jumlah pasukan Mikael tak kalah banyak dengan pasukannya. Akilas mengangkat senapannya tinggi-tinggi.

Mikael dan pasukannya

Mikael yang melihat kode itu balas mengangkat parangnya. Sejurus kemudian, Mikael memberi aba-aba kepada pasukannya untuk maju serentak. Mereka pun bergerak.

Sementara itu, Akilas dan pasukannya mengamati semuanya dari atas bukit. Memperhatikan bagaimana pasukan di bawah komando Mikael menuruni bukit tanpa suara. Awalnya, mereka merambat pelan. Lantas berlari-lari kecil. Menyebar menuju sasaran masing-masing. Layaknya sekompi semut yang mengepung roti manis.

Senyuman tipis mengulas di paras Akilas. Sudah lama, dia dan Mikael mempelajari situasi desa ini. Membaur dengan para turis itu. Akilas bahkan rela menyaru sebagai pemandu wisata sekaligus kuli angkut selama berbulan-bulan. Hanya untuk memastikan rencana sang Jenderal berjalan mulus.

"Perang suci ini harus kita menangkan," Akilas menyeringai dingin. "Penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan! Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan!"

Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit bagi pasukan Mikael untuk menuntaskan misi menyeret dan mengumpulkan para petinggi desa wisata itu ke halaman depan Penginapan Mama Kasih. Sayup-sayup, terdengar keributan di bawah sana.

Melihat saudaranya telah tuntas menunaikan tugas, Akilas mengangkat senapan serbunya. "Majuuuu!" perintahnya. Masih dengan ekspresi yang dingin. Sedingin puncak bersalju di pulau mutiara hitam ini. Serempak, pasukannya menghambur.

Mereka berlari sambil memekik-mekik lantang. Beberapa lainnya bernyanyi-nyanyi. Beruntunglah mereka yang tidak mengerti arti lirik lagu yang terlampau sadis itu.

Ini adalah babak baru dari masa depan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ketika semua jalan untuk menuntut hak merdeka rakyat Papua mengalami kebuntuan, jalan ekstrem ini diyakini akan berhasil.

Mereka merasa, setelah puluhan tahun hidup tertindas di bawah Indonesia, sekarang saatnya Papua merdeka. Bahkan semut pun akan menggigit bila diinjak. Dan inilah gigitan OPM itu!

"Yang melawan ko tebas saja! Apalagi kalau itu orang Indonesia!" Akilas memberi instruksi seraya mengokang M-16 yang disandangnya. Dia segera menghambur ke pintu utama penginapan berbintang satu tersebut.

DUMM! DUMM! DUMM!!

"BUKA PINTU... BUKAAA!" teriakan Akilas mengiringi gedoran-gedoran itu. Beberapa lama Mikael menunggu, tidak ada jawaban. Tak seorang pun di penginapan bertingkat dua itu yang berani membuka pintu.

"Bangsat juga ko ya..." Akilas yang habis kesabarannya membidikkan senjatanya ke daun pintu. Dia siap menyemburkan peluru-peluru berkaliber 5,56 mm dari senapannya.

Namun, "Ya, ya, ya!" sahut suara yang sedikit bergetar dari dalam penginapan.

Pintu pun terbuka. Seorang pelayan penginapan yang wajahnya sudah pucat pasi dan penuh bintik-bintik keringat dingin menyapa dengan ekspresi yang dipaksakan ramah, "S-selamat pa-pagi, P..."

Gerombolan Akilas tak tertarik dengan basa-basi itu. Mereka langsung menerobos masuk. Akilas membentak-bentak, "Semua yang ada di penginapan ini... suruh kumpul sini!"

Pelayan penginapan yang santun itu tampak kebingungan. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi Akilas keburu menyodoknya dengan popor senapan. Tepat di jidat. Membuat pria malang itu langsung terkapar di karpet lobi penginapan.

Kemudian, tujuh orang berpencar. Akilas dan ketiga anak buahnya naik ke lantai dua. Sembari menendangi benda-benda yang dilalui. Bentakan-bentakan terdengar saling bersahutan.

"KAMI TAHU KALIAN DI SINI!" gertak Akilas. Sementara anak buahnya menendangi pintu-pintu dan memukulinya dengan parang atau kapak. "Kalau sampai ketemu kamu sedang sembunyi, kami bisa bikin darah dan otak kamu ada di tembok dan lantai penginapan ini! AYO KELUAAAAR! Saya hitung sampai 10! Satu... dua... tiga... empat..."

Ancaman Akilas cukup manjur. Satu per satu, para tamu penginapan keluar dari liang persembunyiaannya.

"Lima... enam.... Tangan di atas kepala! Kumpul semua di bawah.... Tujuh!"

Para tamu itu pun menurut.

"Delapan...!"

Joanne Charvier, seorang tamu penginapan, mengernyitkan dahi begitu tahu orang beringas itu ternyata Akilas. Begitu pula Jerome Perrinet, pacarnya. Mereka ternganga. Akilas juga mengenali mereka, sebab dialah porter kepercayaan kedua turis Prancis itu.

"Sembilan...." Akilas melanjutkan hitungannya. Dia merasa jengah juga diperhatikan dengan tatapan benci seperti itu oleh mantan majikannya. Namun, dia tak ingin kehilangan wibawa saat ini. Dibalasnya tatapan kecewa dan heran itu. "SEPULUH! Apa lihat-lihat? AYO, KUMPUL BAWAH!"

"Cepaaaat!" bentak anak buah Akilas mendorong-dorong bahu Joanne dan Jerome. "Turun! Turuuuun!"

Para tamu penginapan kemudian digiring keluar rumah. Dengan todongan senjata api dan senjata tajam, tidak ada yang berani melawan. Semua patuh dengan wajah memucat. Apalagi begitu mereka tahu di pelataran depan penginapan, keadaannya lebih tidak menguntungkan lagi.

Pasukan penyandera

Penginapan itu sudah dikepung oleh gerombolan bersenjata. Mereka bersorak sorai saat melihat kelima tamu penginapan keluar dengan tangan ke atas.

"Hei, jang kas luka mereka! Itu kitorang pu tamu. Mereka baik sama kitorang," protes salah seorang pegawai penginapan. Permintaan itu segera disambut dengan tawa cemoohan.

Riuh sekali. Keadaannya seperti pertunjukan perang suku yang biasa diselenggarakan Dinas Pariwisata. Akilas sampai memuntahkan timah-timah panas dari senapannya ke langit untuk membungkam semua kegaduhan itu.

Tapi pegawai tadi meneruskan rengekannya. "Jang dibawa sudah, Pak! Mereka tra bersalah...."

Akilas menoleh ke pegawai penginapan itu sekilas. Lalu dia berpaling ke salah satu anak buahnya. Memberi kode dengan goyangan kepala.

Si anak buah langsung maju ke barisan para turis itu. Dia melihat Ambo Rawallangi, turis asal Makassar yang kebetulan berbadan paling besar di antara turis-turis lainnya. Dia meremas kaosnya di bagian dada, dan menyeret dari teras penginapan. Beberapa orang Akilas segera maju untuk menghujani pria Bugis itu dengan pukulan dan tendangan.

Ambo tak membalas. Hanya melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Lelaki 28 tahun itu rupanya masih bisa berpikir logis, melawan puluhan orang dengan kondisi siap perang seperti ini adalah tindakan konyol. Maka Ambo pasrah saja tubuhnya dijadikan sansak hidup.

Setelah lelaki itu terlihat lemas, giliran Ni Komang Ambarwati yang menjadi bulan-bulanan. Penampilan kalem dan badan kecil wanita itu tidak menghalangi mereka untuk berlaku kasar. Mereka tetap menjambak, memukuli dan menendangi tubuh Komang hingga dia tersungkur.

Ambo yang merasa iba pada gadis 26 tahun itu protes, "Pak, itu perempuan, Pak! Tolong, itu perempuan!" Namun protes itu hanya membuat wajah Ambo semakin biru akibat dihajar lagi oleh anak buah Akilas.

Sementara turis yang lain, turis-turis asing itu, hanya bisa diam. Joanne yang juga perempuan hanya bisa meneteskan air mata. Berempati pada Komang, tapi ciut nyali karena menduga sebentar lagi dia dan pacarnya akan mengalami nasib serupa.

Tapi, dugaan perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SD di Prancis itu meleset. Tidak seperti turis Indonesia, ketiga turis asing dibiarkan utuh tak tersentuh.

"Komandan!" seseorang tiba-tiba mendekati Akilas dengan posisi tegap ala tentara. "Di penginapan, tidak ada siapa-siapa lagi. Laporan selesai!"

"Bagus, berarti semua su di sini," gumam Akilas. Dia memandangi satu per satu wajah kelima tawanannya. "Trada protes, he? Trada komentar?"

Tentu saja kelima tawanan itu ingin menanyakan mengapa mereka harus menerima perlakukan ini. Namun pertanyaan mereka terhenti di ujung lidah.

Kedua tawanan wanita, terutama Komang, malah menunduk sambil sesenggukan. Melihat pertunjukan sadis yang baru saja ditampilkan, siapapun tahu, hanya dibutuhkan sepotong ucapan keliru untuk memantik sebuah pembantaian.

Bab Berikutnya

Komentar pembaca Tiga Sandera Terakhir

Komentar Pembaca

"Kisah novel ini mengembalikan saya pada deretan panjang peristiwa mencekam semasa konflik Aceh. Gambarannya lebih hidup dibandingkan jabaran suasana pada bentuk-bentuk tulisan lain. Tidak sekadar mengungkapkan tragedi penyanderaan yang menegangkan, melainkan juga paparan fakta sejarah, kearifan sosial, dan wawasan lain tentang Tanah Papua Barat."

- Arafat Nur
Penulis Lampuki, pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan peraih Khatulistiwa Literary Award 2011


"Ini novel yang berani. Bukan karena isunya berbicara soal belahan timur Indonesia dan gejolaknya. Tapi novel ini membuat saya berani berhadap-hadapan dengan problem tersebut. Tidak lagi memalingkan muka, lalu memasukkannya ke bawah karpet kelas menengah saya yang nyaman. Semoga ini awal dari keberanian kita semua, untuk mau mengakui satu hal sederhana: kita tidak baik-baik saja, tapi bersedia menyelesaikannya bersama-sama."

- Salman Aristo
Penulis skenario Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dll.


"Melalui novel ini, kita akan melihat apa yang terjadi di Papua dari sudut pandang yang berbeda. Kita akan merenungkan ulang makna negara, nasionalisme, dan kekuasaan. Adakah yang lebih penting dari manusia dan kemanusiaan?"

- Okky Madasari
Novelis Entrok, Maryam, dan Pasung Jiwa, peraih Khatulistiwa Literary Award 2012


"Novel yang sesak oleh aksi seru di rimba Papua. Kopassus. OPM. Pasukan hantu. Separatis. Tak ada yang dominan. Tak ada penindasan. Yang ada hanya lawan yang sepadan!"

- Adhicipta R. Wirawan, S.E., M.A., Ak.
Pendiri dan CEO Mechanimotion Entertainment


"Penggambaran senjata dan aktivitas militer di sini begitu detail. Saya mengapresiasi Brahmanto yang berani menulis novel dengan latar belakang militer. Karena ini berarti perlu riset yang panjang. Tidak banyak pengarang yang mau bersusah payah seperti ini. Salut! Sebuah novel yang pantas dikoleksi."

- Mochamad Yusuf
Pembicara publik dan penulis buku IT


"Bagaimana penulis merangkai fakta dan fiksi dalam cerita patut diacungi jempol. Sebagian membuat hati miris. Sebagian lagi menyeret kita ke dalam situasi yang... full action!"

- Wawan Sukarno
Ketua F.A.S.T. (Freewalker Airsoft Spring Team) Surabaya


"Sebagai emak-emak, saya seharusnya nggak doyan novel beginian. Tapi entah mengapa, di tangan seorang Brahmanto, genre yang selama ini bikin saya alergi justru tampil begitu memesona dan punya daya ledak imajinasi. Wajib kudu harus baca!"

- Nurul Rahmawati
Blogger dan penikmat drama


"Penulis masih hadir dengan kekhasannya: cerita bermuatan petualangan, thriller, dan maskulinitas yang kuat. Kali ini, semua unsur tadi dikawinkan dengan sejarah dan militer. Namun tetap dikemas dengan bahasa yang populer."

- Rini Nurul Badariah
Penerjemah dan editor lepas


"Sangat detail dan apik. Brahmanto mampu memunculkan konflik dan pandangan humanistiknya. Novel yang perlu dibaca. Saya sangat merekomendasikannya."

- Agus Sopandi
Pemilik Rumah Baca Masyarakat (RBM) Kali Atas, Cicalengka, Bandung


"Tiga Sandera Terakhir tidak terasa berakhir di kepala saya, meski saya sudah menuntaskannya dalam empat jam saja. Menghanyutkan. Membuat penasaran. Misteri yang berlapis berujung pada kegilaan yang berkedok ambisi. Selalu ada sihir dalam tulisan Brahmanto."

- Ruwi Meita
Penulis Misteri Patung Garam, Days of Terror, Rumah Lebah, dan novel-novel misteri/thriller lainnya, Juara I Kompetisi Tulis Nusantara 2014, Juara III Sayembara Cerpen Femina 2014


"Konflik dikeluarkan perlahan-lahan, seperti tentara yang merambat di hutan, membidik musuh, dan menembak dengan jitu. Pelan tapi pasti. Rasakan setiap ketegangan, kekecewaan, dan keberanian tokoh-tokohnya melalui barisan kalimat yang bukan hanya showing, melainkan juga bernyawa."

- Astrid Ayu Septaviani
Copywriter dan Social Media Manager


"Aksi Tim Hantu sukses bikin tegang sekaligus tertawa. Percaya deh, percakapan mereka bakalan bikin kalian ngakak. Untuk tokoh antagonis, psycho-nya dapet banget! Buku ini penuh bakbikbuk dan darderdor. Tapi bukan berarti pecinta romance tidak dapat menikmatinya. Buktinya, saya bisa."

- Sri Sulistyowati
Perawat / Juru Rawat


"Bacalah agar matamu bisa 'melihat' apa yang terjadi di ujung timur Indonesia."

- Pauline Destinugrainy
Dosen Biologi di Palopo, Sulawesi Selatan


"Sejak awal sampai akhir, suguhan action dari buku Tiga Sandera Terakhir ini seakan tidak pernah berakhir. Cara berceritanya asyik diikuti dan setiap adegannya begitu hidup. Nggak cuma bercerita dari sudut pandang tentara, tetapi juga sandera dan penyandera. Dan ini, serius, benar-benar membuat merinding!"

- Martina Sugondo
Legal Officer


"Bagi saya, Brahmanto Anindito sangat sukses dalam menulis buku bergenre thriller militer. Alur cerita, emosi, senjata, sejarah, penggambaran wilayah... thrill form start to finish!"

- V. Ramdhan Setiawan
Penulis, penggemar dunia militer


"Seharusnya buku ini terasa berat, karena temanya. Tetapi saya bisa membacanya cukup cepat dan menikmati segala unsur yang ada. Ketika sedang tegang membaca adegan yang serius, bisa saja ada selipan jokes ringan yang spontan membuat saya tertawa."

- Petronela Putri
Jurnalis, blogger


"Wah, rasanya seperti menonton film aksi! Walau secara umum novel ini bernuansa serius dan menegangkan, penulis tak lupa menyelipkan humor di dalamnya. Tokoh favorit saya? Tentu saja Kolonel Larung Nusa dan Tim Hantu-nya. Adegan favorit? 1. Semua adegan tembak-tembakan di dalamnya, 2. Interaksi antaranggota Tim Hantu (duh, saya jatuh cinta sama tim ini), 3. Duel final antara Kolonel Nusa dan dia-yang-namanya-nggak-akan-saya-sebutkan-karena-takut-spoiler."

- Yovano Nalande
PNS Dirjen Perbendaharaan Gorontalo


"Kelihatan kalau Brahmanto tidak main-main ketika merancang bangun cerita dan melakukan riset. Gaya berceritanya efisien, yang mana itu bagus untuk genre thriller. Humor-humornya pintar dan jitu, bisa menyatu dengan suasana thriller. Adegan-adegan aksinya, mulai dari baku tembak sampai baku hantam, juga cukup variatif dan tidak membosankan. Salut!"

- Tsugaeda
Penulis novel thriller Rencana Besar dan Sudut Mati


"Apa ya nama suatu keadaan ketika kau membaca buku dan menganggapnya seperti sedang menonton film? Dan apa sebutan untuk buku yang membuatmu berpikir bahwa sebaiknya tidak dijadikan sebuah buku, tetapi sebuah skrip karena lebih menonjolkan unsur visual?"

- Abduraafi Andrian
Creative Content


"Ada dua alasan ketika kita susah mereview sebuah buku: buku itu jelek jadi nggak bakal kuat selesai membacanya. Atau, buku itu benar-benar bagus jadi sampai bingung mereviewnya biar nggak spoiler. Nah, buku ini tipikal yang kedua."

- Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan & reviewer buku


"Saya sih berharap novel ini menjadi semacam series, yang tiap bukunya membahas konflik-konflik yang ada di daerah-daerah Indonesia. Pasti seru!"

- Muhammad Rasyid Ridho
Pegiat Bondowoso Writing Community


"Ada rasa ciut dengan konfliknya yang begitu rumit. Tapi, tidak perlu khawatir, Brahmanto Anindito masih menggunakan gaya bahasa khasnya yang eksplisit dan mudah dimengerti."

- Anastasia Cynthia
Mahasiswi


"Adegan aksinya luar biasa detail, sangat sinematik bak film aksi luar negeri. Sungguh sangat sayang untuk dilewatkan."

- Dion Yulianto
Editor dan translator